Jumat, 20 November 2009

Cerpen Linda


Never Ending Love


Munia oryzivora padaku yang terdengar sangat merdu di dahan Terminalia catapa. Tersergap aku oleh dinginnya pagi ini yang menusuk-nusuk kulitku hingga menembus ke sumsum tulangku. Kuhentikan langkahku, lihatku sosok lelaki duduk di atas bangku panjang berwarna cokelat tua dekat ruang Matematika 1. Semakin kudekat, kulihat senyum penuh semangat merekah dari bibir manis lelaki itu, ternyata dia adalah kakak lelakiku, kakak kelasku yang sudah kuanggap sebagai kakakku.

”Assalamu’alaikum! Pagi, Ani! ’Kok berangkat pagi banget? Ada apa?” tanyaku padanya setelah balasku akan senyum indahnya.

”Wa’alaikumsalam! Pagi juga, Lind! Aku cuma pengen nemenin kamu aja, karena aku tau kamu pasti kesepian di pagi ini. Temen-temenmu ’kan berangkatnya nunggu bel masuk dulu, hehehe....” jawabnya padaku sembari tertawa kecil, gigi-giginya pun tak mau kalah untuk menampakkan diri, mungkin mereka juga ingin menyapaku di pagi yang dingin ini.

”Pagi ini dingin ya?” ucapku sambil mengusap-usapkan kedua telapak tanganku pada kedua lenganku.

”Iya, Lind!”

Kuputuskan ’tuk duduk di sampingnya. Namun, beberapa saat, kami saling terdiam, sesekali aku melirik ke raut mukanya, begitupun dia. Besar rinduku saat kubersua dengannya.

”Lind, Aku ingin melihat senyummu di saat terakhirku. Aku berharap kamu selalu bahagia ketika berada di sampingku karena aku selalu merasakan itu di sisimu. Aku menyadari, aku enggak bisa jadi kakak terbaikmu, tapi aku selalu berusaha ‘tuk lakukan itu. Lind, aku sayang banget sama kamu! Kamu harus tetap kuat meskipun aku ’kan meninggalkanmu selamanya ….” untaian kata-kata itu terucap dari mulutnya yang bergelut dengan suara gerimis.

Rasaku tersirat cinta dalam setiap penggalan katanya yang terus menghembus padaku, hingga mengepung mata hatiku.

“Dia mencintaimu, Linda!” ucap hatiku.

”Tidak, itu bohong! Dia tidak mencintaimu! Dia hanya menganggapmu sebagai adiknya! Ingat itu!” sanggah mataku.

”Linda, kamu lebih percaya dengan apa yang aku katakan ’kan? Aku adalah hatimu, hati yang bisa merasakan sesuatu yang kasat oleh mata, kamu juga tau hal itu ’kan?” balas hati

”Enggak, pokoknya dia tidak mencintaimu, Linda! Kamu jangan percaya akan hatimu! Hatimu hanya akan menyakitimu!”

”Enggak, Linda! Aku benar! Jangan percaya dengan mata yang terkadang salah melihat!”

”Enggak, aku yang benar!”

”Aku yang benar!”

”Aku ... !”

”Cukuuup ... ! Tidak, itu hanya inginku dalam anganku, ani ’gak mungkin mencintaiku, dia hanya menganggapku sebagai adiknya!” kucoba menghentikan perdebatan yang semakin memanas ini, lebih percayaku akan mataku, kucoba mengusir hembusan-hembusan itu yang terasa kian kuat mengepung mata hatiku.

”Ani ngomong apa sih? Bercandanya kelewatan deh!” jawabku diiringi gelengan kepalaku, yang melerai pergelutan antara untaian kata-katanya dengan suara presipitasi itu.

”Apa aku terlihat bercanda, Lind?” ani menatap mataku dengan begitu tajam, hingga menembus ke dalam otakku tanpa melalui syaraf optikku.

”Sorry!” aku menundukkan kepalaku, rasaku ada sesuatu yang menggelayuti pikiran ani.

”Bye, my best sister! Makasih banget, Lind! Kamu telah membuat hari terakhirku bahagia. Sekarang, aku harus pergi, jangan lupa dengan pesanku ya! Jaga kesehatanmu!” ucapnya padaku, ia menggenggam jemari-jemari tanganku laksana sang Raja Rimba yang berhasil menerkam mangsanya.

Rasaku ada aliran dingin yang menyusup dari genggaman kedua tangannya, aliran itu menyergapku, hingga mampu membekukan jemari-jemari lentikku. Rasa itu begitu dahsyat, namun tak lama rasa itu semakin berkurang dan menghilang. Ternyata ani telah melepaskan genggamannya, ia langsung beranjak dari tempat duduknya.

”Ani mau ke mana? Aku ikut ....” ucapku secara spontan yang mengejar langkah kakinya yang kian menjauh dariku.

Namun, ani tak menjawabnya, tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, hanya membisu, ia seakan mengusir ucapanku yang mengejarnya.

Aku segera berdiri dan mengejarnya, ”Ani, tunggu! Tunggu! Ani .... Ani .... Ani ....”

”Linda, bangun! Bangun! Kamu mimpi Rendy lagi ya?” ucap ibu sambil memegang tubuhku yang melenyapkan semuanya.

Kubuka kelopak mataku yang terasa begitu berat, yang seakan memenjarakan bola mataku beribu-ribu tahun lamanya, ”Iya, Bu! Aku memimpikannya lagi!”

Sejak kepergiannya, hampir setiap hari ani mendatangiku, menyusup ke dalam bunga tidurku. Kecelakaan itu telah membuat tulang rusuknya menusuk ke dalam hatinya dan membuat mataku hampir buta. Tapi, orangtuanya merelakan kornea mata ani diberikan kepadaku. Sekarang, aku masih terkulai di atas pembaringan rumah sakit swasta ini. Kini, kornea matanya telah menjadi bagian dari mataku. Betapa terpukulnya hatiku setiap bayangan kecelakaan itu hadir dalam pikiranku, bahkan tak kuasa aku mengusirnya, kubiarkan dia mematuk-matuk dan menggerogoti otakku, dia terlalu kuat, bulir-bulir air mataku pun tak kuasa kubendung.

Mimpi buruk yang bukan ilusi itu telah merenggut nyawa seseorang yang kucintai. Terlalu memilukan, karena di hari itu, ani juga sedang berulang tahun. Ketika kami hendak merayakan hari lahirnya di antiklinal yang biasa disebut puncak bukit nan penuh cerita antara diriku dan dirinya yang berada di kota kami, mimpi buruk yang tak pernah kubayangkan itu hadir. Sebuah truk dari arah yang berlawanan itu muncul dari balik jalan menanjak. Truk itu melaju sangat kencang dan menghampiri kami yang hanya berjarak beberapa meter darinya. Bbrrruuuuukkkk … ! Suara yang memekakkan telinga itu yang terakhir kudengar sebelum aku tak sadarkan diri, langit pun terbelah akannya.

Saat ini, tangkai telah rapuh, tak kuasa lagi menopang dan menggenggam erat daun muda, tangkai telah tertimbun oleh asa-asa yang belum sempurna terwujud. Daun muda yang hanya bisa tegar karena tangkai, kini juga telah kehilangan asanya yang juga ikut menimbun tangkai. Janji manis itu telah sirna, namun aku juga sadar, kalau aku seperti ini terus, ani pasti akan sangat kecewa padaku. Tapi, aku juga tahu kalau semua itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Aku masih biarkan semua itu mengalir, mungkin seiring berjalannya waktu, bayang-bayang kecelakaan pahit itu bisa sirna dari hidupku.

”Lind, tadi orangtua Rendy menjengukmu, tapi mereka tak mau mengusik tidurmu. Mereka menanyakan kabarmu dan membawa sesuatu untukmu,”

”Apa, Bu?”

Ibu membawakan sebuah buku diary berwarna putih kepadaku, warna favorit ani.

”Ini diary milik ani, Bu?”

Ibu mengangguk dan langsung pergi meninggalkanku dari ruangan sempit bercat putih ini. Kuberanikan diri ’tuk membuka diarynya, walau aku tahu, aku masih terlalu takut melakukan itu. Halaman pertamanya tertulis tanggal 11 Januari 2008, di situ lihatku ukiran kata-katanya bercerita padaku saat hari ulang tahunku yang ke-15 dan tepat di hari itu, kami menjadi kakak adik. Saat itu, aku masih mengingat kata-kata emasnya untukku ….

”Lind, aku ’kan menjadi tangkai yang tetap tegak untuk daun muda! ’Kan selalu bersama di saat ada hujan, petir dan badai. Aku akan menggenggammu agar kamu tak jatuh terinjak-injak!” itulah kata-kata yang masih melekat utuh di otakku pada hari itu.

Lembar demi lembar kubuka, mencoba untuk memaknai setiap goresan-goresan tinta pada diarynya. Bahkan, ani juga menyisipkan foto-foto kenangan kami pada beberapa lembaran di diarynya. Aku tersenyum kecil mengingat kenangan-kenangan indah bersama ani. Seperti biasa, kutak sanggup membendung bulir-bulir air mataku, hingga akhirnya mereka meluap dan menuruni pipiku. Setelah memakan waktu berjam-jam ’tuk membaca dan mencoba mengerti semua isi diarynya, sampailah aku pada halaman terakhirnya setelah aku mengarungi luapan samudra air mataku dan bertarung mengalahkan rasa takut dalam diriku. Hari terakhirnya, 19 Oktober 2008, saat itu ani berulang tahun yang ke-17. Di situ tertoreh kata-kata terakhirnya yang ani tulis di pagi hari.

Dear diary,

Lindaku, cintaku. Maafkan aku, selama ini aku telah membohongimu. Ada cinta padamu yang semakin berkembang di hatiku seiring berjalannya waktu. Kutak kuasa ungkapkan semua ini padamu, tak mau aku membuat hatimu terluka jika kau tahu tentang semua ini. Inginku melihat senyummu selalu, karena hanya itu yang dapat damaikan hatiku.

You are my first love. I always save every memories with you in my heart. In my birthday, I promise, I’ll bring my love to end my time because you are my endless love ….

I love you, Linda ^_^

”Ani, mengapa tak kau ungkapkan cintamu padaku? Sesungguhnya, aku juga mencintaimu. Betapa bodohnya kita membohongi hati kita. Sekarang, penyesalan pun datang hampiriku, kenapa dulu tak kuungkapkan cinta ini? Tapi, semuanya telah sirna bersama kecelakaan itu, kau tinggalkan diriku yang terlalu rapuh ’tuk kau tinggalkan. Namun, aku tahu bahwa cinta kita takkan pudar walau sekarang kita berada di alam yang berbeda. Terima kasihku untukmu, cintamu sirami hatiku yang telah lama kering, warnai hari-hariku yang dulu hanya hitam putih, terangi malamku yang gelap dan semuanya yang Ani lakukan padaku dan terima kasih untuk kornea yang Ani berikan padaku, ini sangat berarti bagiku, bagian dari hidupmu, kini menjadi bagian dari hidupku. I want you to know too, you are my endless love.”

ÿÿÿ


Munia oryzivora : gelatik (Bahasa Latin)

Terminalia catapa : ketapang (Bahasa Latin)

Ani : Kakak laki-laki (Bahasa Jepang)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar