Selasa, 24 November 2009

Artikelnya Ani th 2009

PRIVATISASI
MENJUAL TANPA MEMIKIRKAN MASA DEPAN

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan sebuah daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama 1 tahun terhitung dari 1 Januari hingga 31 Desember. Seperti anggaran rumah tangga biasa, dalam APBN terdapat juga pos-pos yang akan dilaksanakan selama 1 tahun ke depan. Secara umum ada 5 hal yang dicatat dalam APBN Indonesia. Kelima hal tersebut berupa pendapatan negara dan hibah, belanja negara, keseimbangan primer, surplus/defisit anggaran, dan pembiayaan.
Pembiayaan dalam APBN ialah penerimaan negara, tetapi negara berkewajiban untuk mengembalikannya. Ataupun bisa dikatakan sebagai pengeluaran negara yang nantinya akan diterima kembali baik itu dalam periode anggaran yang sama maupun periode anggaran yang akan datang.
APBN mempunyai dua kategori pembiayaan yaitu menjadi pembiayaan dalam negeri dan luar negeri. Pembiayaan dalam negeri mencakup perbankan dalam negeri dan non-perbankan dalam negeri. Pembiayaan non-perbankan dalam negeri meliputi privatisasi, hasil pengelolaan aset, surat berharga negara, dana investasi pemerintah dan restrukturisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Mungkin Anda masih asing mendengar istilah privatisasi dalam APBN. Berdasarkan UU No. 19 tahun 2003 tentang BUMN, privatisasi merupakan penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat. Istilah lainnya adalah swastanisasi, yaitu penjualan sebagian atau keseluruhan kepemilikan aset-aset milik negara kepada pihak swasta dalam negeri maupun luar negeri.
Lalu bagaimana dengan privatisasi yang selama ini berjalan di Indonesia? Telah banyak saham BUMN yang dijual pemerintah kepada pihak swasta. Apakah ini kebijakan yang tepat dan baik digunakan pemerintahan Indonesia khususnya dalam peningkatan penerimaan di APBN?
Sejenak kita tinjau regulasi negara kita dalam UUD tahun 1945 perihal perekonomian Indonesia. Dalam pasal 33 UUD tahun 1945 ayat 2 disebutkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang meguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Pada ayat ke 4 juga menyebutkan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional.
Menanggapi peraturan yang telah dibuat pemerintah secara sadar di atas, maka privatisasi yang dilakukan selama ini jelas merupakan kebijakan yang menyimpang jauh dari UUD 1945. Negara tidak berhak menjual BUMN, karena BUMN bukan milik negara melainkan milik rakyat dan digunakan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Kenyataannya mengapa pemerintah malah melakukan privatisasi terhadap BUMN tersebut?
Kebijakan seperti ini justru menjual harta rakyat secara halus. Gambarannya seperti ini, dalam APBN terdapat penerimaan dari sektor perpajakan. Kita tahu bahwa pajak merupakan sumber penerimaan paling besar, sumber dana itu diperoleh dari penarikan pajak oleh pemerintah kepada rakyat. Hasil dari penerimaan tersebut salah satunya digunakan untuk pembangunan nasional misalnya mendirikan sebuah BUMN. Laba dari BUMN akan masuk ke dalam penerimaan APBN, itulah yang dipergunakan pemerintah untuk memberi pelayanan seoptimal mungkin pada rakyat, digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat. Namun dengan adanya privatisasi BUMN, apakah selama ini negara telah melepas tanggungjawabnya untuk menyejahterakan rakyat? Di manakah letak demokrasi ekonomi yang selama ini ada dalam UUD kita?
Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil mengatakan bahwa privatisasi BUMN dilakukan tidak untuk menjual BUMN, melainkan untuk memberdayakan BUMN itu sendiri, sehingga akan menjadikan BUMN lebih transparan dan dinamis. Jikalau kita cermati sejenak, pernyataan tersebut sangat menguntungkan pihak BUMN Indonesia. Karena setiap badan usaha yang diprivatisasi akan mengalami perubahan lebih baik. Terjadi pembaharuan dari segi-segi intern
misalnya peningkatan produktivitas, maupun profesionalitas kinerja pegawai dalam suatu badan usaha. Diharapkan juga akan mengalami peningkatan laba perusahaan sekaligus menjadi upaya untuk meningkatkan penerimaan dalam APBN melalui privatisasi BUMN.
Tetapi kenyataannya bertolak belakang. Pasalnya, BUMN yang diprivatisasi merupakan BUMN yang sehat, mempunyai prospek ke depan yang baik, menghasilkan laba cukup besar, memiliki posisi yang kuat, memiliki peranan penting seperti Indosat, Indofarma, dan Telkom. Seharusnya yang menjadi objek privatisasi adalah BUMN yang benar-benar perlu diberdayakan, karena kekurangan modal maupun kinerja di dalamnya belum optimal.
Sebagai bukti keteledoran kebijakan privatisasi ialah penjualan saham PT. Indosat kepada Singapura. Tahun 2002 lalu, Indonesia menjual saham PT. Indosat sebesar 41,94% kepada Singapura melalui Singapore Technologies Telemedia (STT) Pte Ltd. Padahal di tahun 2002 tersebut Indosat baru saja membeli 25% saham Satelindo dari De Te Asia senilai US$ 350 juta. Di samping memiliki Satelindo, Indosat juga mempunyai anak perusahaan IM3, Lintasarta, dan MGTI. Bayangkan, tahun 2001 penerimaan APBN dari pajak dan deviden Indosat mencapai Rp 1,405 trilyun (www.jurnal-ekonomi.org).
Bagaimana dengan penerimaan pajak dan deviden negara dari Indosat setelah diprivatisasi? Yang jelas penerimaan negara akan sangat berkurang, karena pemerintah hanya memiliki prosentase sedikit kepemilikan saham PT. Indosat. Otomatis, laba yang diperoleh Indosat akan mengalir ke investor asing tersebut. Kepemilikan saham yang melebihi 50% menyebabkan investor memiliki dominasi kuat terhadap perusahaan. Terutama dalam hal mendapatkan deviden.
Privatisasi terhadap BUMN merupakan suatu kebijakan yang mengindikasikan ketidaksanggupan pemerintah dalam mengelola aset negara. Kita lihat, tahun 1991 pemerintah menjual 35% saham PT. Semen Gresik. Kemudian pada tahun 1994, pemerintah menjual 35% saham PT. Indosat. Tahun 1995, pemerintah menjual 35% saham PT. Tambang Timah dan 23% saham PT. Telkom. Tahun 1998 pemerintah kembali menjual 14% saham PT. Semen Gresik kepada perusahaan asing Cemex. Tahun 1999 pemerintah menjual kembali 9,62%
saham PT. Telkom, 51% saham PT. Pelindo II kepada investor Hongkong, dan 49% saham PT. Pelindo III investor Australia. Tahun 2001 19,8% saham Indofarma dan 11,9% saham PT. Telkom. Yang paling mengejutkan tahun 2002 lalu, pemerintah menjual 41,94% saham PT. Indosat (www.jurnal-ekonomi.org).
Bisa disimpulkan bahwa ketergantungan pemerintah terhadap investor tinggi meskipun privatisasi hanya dilakukan dalam bentuk pemindahtanganan sebagian pemilikan pemerintah kepada swasta (divestasi). Akibat yang dirasakan pemerintah kewalahan untuk mendapatkannya kembali karena harus membeli dengan biaya yang tinggi.
Akibat buruk dari privatisasi lainnya dapat kita lihat dari aspek ketenagakerjaan. Yaitu terjadinya pemberhentian tenaga kerja yang dirasa kurang professional. Kebijakan ini dimiliki oleh pemegang saham terkuat. Investor yang mempunyai kepemilikan saham lebih dari 50% mempunyai kewenangan kebijakan yang lebih kuat atas perusahaan dibandingkan pihak yang memiliki kurang dari 50%. Tidak hanya pada penerimaan deviden, tapi juga mengatur perusahaan tersebut. Yang jelas mereka menginginkan yang terbaik dan keuntungan yang maksimal atas perusahaan yang digenggamnya. Apabila saham dipegang oleh investor asing, secara logika posisi-posisi penting perusahaan jelas akan dipegang oleh tenaga asing pula. Imbasnya, pengangguran di Indonesia semakin berkembang pesat karena PHK dan pada akhirnya kemiskinan pun tak dapat terelakkan lagi. Akibatnya permasalahan di Indonesia menjadi semakin kompleks.
Sudah saatnya kebijakan privatisasi ini dihilangkan dari pembiayaan dalam APBN. Telah banyak kerugian yang timbul akibat privatisasi BUMN yang selama ini berjalan. Pemerintah seharusnya selektif dalam memilih kebijakan, jangan sampai merugikan negara apalagi rakyat. Pemerintah harus memilih cara lain selain privatisasi BUMN demi menyelamatkan APBN yang kerap kali defisit.
Langkah yang harus ditempuh pemerintah untuk menyelamatkan BUMN dari privatisasi adalah dengan optimalisasi penerimaan dalam APBN. Pemerintah harus mengoptimalkan penerimaan sektor perpajakan. Karena pajak merupakan
sumber penerimaan terbesar. Mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi tak satupun aktivitas yang kita lakukan tanpa terikat oleh pajak.
Dengan optimalisasi pajak, penerimaan negara dalam APBN akan meningkat secara signifikan. Dengan peningkatan tersebut maka defisit anggaran semakin terkurangi. Langkah selanjutnya pemerintah semestinya menunjukkan sikap tanggungjawab yaitu mengambil alih kembali BUMN yang terlanjur diprivatisasi. Pemerintah telah menjual banyak aset-aset milik rakyat tanpa sepengetahuan rakyat. Sudah selayaknya pemerintah berpikir untuk membelinya kembali.
Kinerja dalam BUMN juga dioptimalkan melalui pemberdayaan tenaga kerja guna meningkatkan profesionalitas dan kedisiplinan dalam bekerja. Seluruh jajaran dalam BUMN harus mempunyai komitmen bersama untuk meningkatkan laba BUMN. Setiap BUMN pun harus memberlakukan efisiensi tenaga kerja dengan mempekerjakan tenaga yang benar-benar profesional dibidangnya, mempunyai etos kerja tinggi dan berjiwa antikorupsi. Jajaran petinggi BUMN pun harus bersikap tegas untuk mengadakan perombakan sistem dan memberikan punishment bagi setiap jajaran dibawahnya yang melanggar kebijakan perusahaan.
Kita sebagai generasi penerus yang 10 tahun lagi akan turut andil dalam pengelolaan BUMN, sudah saatnya mempersiapkan diri mulai dari sekarang. Kita jangan sampai hanya meneruskan sistem yang tidak kondusif bagi perkembangan BUMN yang sudah membudaya sebelumnya. Pada saat kita sudah masuk dalam jajaran BUMN kita harus berani melakukan gebrakan baru untuk memperbaharui sistem yang tidak kondusif tersebut yang telah berjalan menjadi lebih efektif untuk membuahkan hasil yang optimal.
*******
DAFTAR PUSTAKA
􀂙 Adji, Wahyu et al. 2004. Ekonomi Jilid 2 SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga
􀂙 www.legalitas.org
􀂙 www.kolom.pacific.net.id
􀂙 www.jurnal-ekonomi.org
􀂙 www.antara.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar